15 days

Jungmo menggenggam sendoknya erat, sesekali melirik ke arah Woobin yang sedang asyik dengan ponselnya, asyik menertawakan entah apa yang ada di layar ponselnya selama lima belas menit. Jungmo sedikit jengah melihatnya. Pasalnya, mereka kini sedang menikmati makan malam berdua. Namun, Woobin tidak memberinya perhatian sama sekali.

“Woobin…” panggilnya lembut. Tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel, Woobin menjawab singkat, “apa?”

“Hapenya diletakkan, dong. Makanannya dimakan dulu.”

“Iya,” jawab Woobin singkat, pandangannya masih tertuju pada ponselnya. Jungmo mendengus.

“Kamu lihat apa sih? Kok asyik sendiri, gak ngajak-ngajak aku? Aku angin ya disini?” Setelah berujar demikian, barulah Woobin kini menatapnya. Diletakannya benda persegi panjang yang menyita perhatiannya tadi dan ia menghela nafas berat.

“Mo, kita putus aja, yuk?”

Seperti tersambar petir rasanya Jungmo mendengar kalimat yang dilontarkan Woobin. Ia hampir menjatuhkan sendok dari tangannya. 

“K-kok… tiba-tiba?” tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. Lelaki Seo itu hanya memberikan senyum tipis kemudian menggeleng pelan.

“Maaf, Mo. Aku sudah gak cinta kamu,” ucapnya datar kemudian beranjak dari meja makan, meninggalkan Jungmo yang masih mencerna semua yang diucapkan Woobin.

“Ohiya. Besok, aku mau pindah dari sini ya. Buat uang sewanya, aku balikin semua,” lanjutnya. “Aku masuk kamar dulu.”

Usai berucap demikian, ia meninggalkan Jungmo seorang diri disana, dengan air mata yang kini turun dengan deras.

Tidak ada satupun dari mereka yang bersuara, bahkan ketika mereka kini berada di atas ranjang yang sama. Jungmo tidak mengerti, apa yang membuat kekasihnya kini berubah. Ia sama sekali tidak menghiraukan eksistensi pemuda manis yang telah mengisi hari-harinya selama kurang lebih lima tahun belakangan.

“Bin…” panggilnya, mencoba memecah keheningan diantara keduanya.

“Hm?” Lagi-lagi Woobin hanya menjawab dengan singkat.

“Bisakah kamu tinggal lima belas hari lagi disini? Aku janji, setelah hari ke-15, aku akan pindah dari sini.”

“Memang kenapa?” Jungmo terdiam sebentar, mencari jawaban yang tepat.

“Um…, kalau dipikir-pikir, kontrak sewa kita bulan ini masih ada sisa lima belas hari, sedangkan uang sewa sudah kita bayar penuh. Sayang kalau kamu pindah sekarang,” tutur Jungmo. Dalam hati berharap Woobin akan menyetujuinya.

“Hm. Yasudah. Atur saja,” jawab Woobin singkat yang membuat Jungmo tanpa sadar tersenyum.

“Makasih, Bin,” ujarnya pelan.


Woobin menggeliat di atas kasurnya, mencoba membuka mata karena sinar matahari yang menyeruak memasuki jendela kamarnya.

“Woobin, bangun. Ayo sarapan.” Tiba-tiba saja, Jungmo muncul di sampingnya, duduk di pinggir kasur dan mengguncang tubuhnya pelan. Ia sontak terlonjak di kasurnya dan menepis tangan sang mantan kekasih. Merasa canggung, mengingat status mereka yang sudah putus hubungan.

“I-iya iya… Aku udah bangun, kok,” ujarnya kikuk. Buru-buru ia bangkit dari kasur dan pergi menuju kamar mandi untuk cuci muka, sekaligus menghindari Jungmo yang kini menatap kepergiannya sedih.

Selesai sarapan, Woobin langsung pergi mandi. Ketika ia selesai mandi, ia cukup terkejut melihat baju kantornya yang sudah disiapkan rapih diatas kasur. Ia merasa cukup aneh, namun tetap memakai baju tersebut. Kemudian, ia bersiap untuk berangkat.

“Woobin, tunggu!” Jungmo berlari kecil menuju pintu, menghentikan pemuda Seo itu.

“Nih. Bawalah ini ke kantor,” ujarnya menyodorkan satu tas yang berisi kotak makan.

“Apa ini? Bekal?” tanya Woobin. Lelaki manis itu mengangguk. “Bawa bekal ini. Supaya kamu tidak perlu repot beli makan siang.”

Woobin menatapnya ragu. “Jung-”

“Cepat! Aku juga harus mandi dan pergi kerja!” Jungmo akhirnya menarik tangan Woobin dan meletakkan tas itu di atas tangannya.

“Sudah, ya. Sana berangkat!” ucapnya setengah mengusir. Sementara Woobin, masih terpaku melihat tas berisi bekal yang kini ada di genggamannya.

Woobin tidak dapat fokus pada pekerjaannya. Pikirannya dipenuhi oleh sikap Jungmo yang menurutnya sedikit aneh. Tidak terlalu aneh, sebetulnya, mengingat mereka dulu merupakan sepasang kekasih. Namun, dengan status hubungan mereka yang sekarang, tentu Woobin merasa kurang nyaman.

“Mungkin dia pengen bikin suasana di rumah jadi cair aja kali ya…” gumam Woobin pelan.

“Kenapa, Bin? Suasana apa?” celetuk Serim tiba-tiba, yang berada di meja sebelahnya.

“Hah? Ng-nggak, kok, nggak ada apa-apa,” ujar Woobin terbata, sedikit terkejut.

“Kak, aku mau tanya.”

“Iya, tanya aja,” jawab Serim dengan perhatian yang masih terfokus pada layar komputernya.

“Aneh nggak, sih, kalo udah putus dari pacar tapi dia masih kasih perhatian?”

“Kamu udah putus sama Jungmo?” tanya Serim terkejut. Perhatiannya teralihkan sepenuhnya pada Woobin kini.

“Iya, baru aja semalam…” Woobin berucap pelan.

“Kenapa kalian putus?”

“Hm… Nggak tahu sih, Kak. Tapi, aku merasa kalo kami memang sudah nggak cocok.”

“Kalau begitu, Jungmo-nya buat aku saja, gimana?”

“Kak! Serius dulu, dong!” gertak Woobin kesal. Serim terkekeh. “Hahaha, oke oke. Maaf.”

“Kalian masih tinggal serumah kalau begitu?”

“Iya. Sisa kontrak sewa rumah kami masih dua minggu lagi, jadi aku memutuskan untuk tetap tinggal sampai kontrak kami habis. Setelah itu, baru kami benar-benar berpisah.”

“Hm… begitu.” Serim menganggukkan kepalanya. “Menurutku, tidak masalah. Melihat karakter Jungmo, hal itu wajar terjadi,” tuturnya.

“Ya… mungkin…”

“Kalau kamu merasa tidak nyaman, coba bicarakan baik-baik.” Serim menepuk punggung rekan kerjanya pelan.

“Baiklah…”


“Sudah pulang?” Ketika Woobin datang, dirinya sudah disambut oleh Jungmo yang kini duduk di kursi meja makan sambil meminum segelas teh. Ia sepertinya baru saja pulang, terlihat dari bajunya yang masih memakai kemeja dan raut wajah yang masih lelah.

“Mandilah dulu. Biar kusiapkan makan malam. Aku tadi sudah membeli makanan kesukaanmu.” Jungmo kemudian beranjak dari meja makan, meninggalkan Woobin yang baru akan membuka mulutnya. Pada akhirnya, ia hanya menurut dan melakukan yang diperintahkan.

Selesai mandi, Woobin beranjak menuju meja makan dan benar saja, makan malam sudah tersusun rapi di meja makan.

“Cepat dimakan makan malammu. Aku mau pergi mandi.” Woobin lagi-lagi hanya menurut. Ia kemudian menikmati makan malamnya dalam diam, larut dalam pikirannya sendiri. Dirinya masih memikirkan bagaimana caranya menghindar dari perlakuan Jungmo yang begitu perhatian padanya layaknya mereka masih sepasang kekasih.

“Hey, jangan bengong!”

“Uhuk!”

Woobin tersedak makanannya karena terkejut ketika Jungmo dengan tiba-tiba muncul disamping. Si yang lebih tua panik kemudian buru-buru menyodorkan segelas air di depannya.

“Aduh, maaf Woobin. Kamu kaget ya…,” ujarnya merasa bersalah sembari menepuk punggungnya pelan.

Woobin sedikit tersentak ketika tangan lembut itu menyentuh punggungnya. Perasaan nyaman menjalar di seluruh tubunya, seolah hal itu adalah yang dia butuhkan saat ini.

“Eh-ehm, Jungmo, aku…”

“Hm?”

Lelaki Seo itu tiba-tiba gugup, dirinya menjadi salah tingkah.

“Aku…, gapapa kok.”

“Ah, okay.” Jungmo dengan ragu menarik tangannya. “Maaf ya, sekali lagi.”

“Iya, tidak apa-apa.”


Hari kedua, hari ketiga, hari keempat, dan seterusnya. Sudah satu minggu lebih mereka tinggal bersama sebagai “mantan kekasih”. Sudah satu minggu juga, pemuda kelahiran bulan Februari itu terus bersikap seolah mereka masih sepasang kekasih. Woobin mulai terbiasa dengan perlakuan Jungmo yang demikian. Entah mengapa, ia selalu tidak bisa menolak. Ia justru kini merasakan perasaan senang dan nyaman ketika Jungmo memperhatikannya.

Pagi ini, Woobin bangun lebih dulu. Ketika membuka mata, ia melihat Jungmo yang sudah tidak ada di kasurnya. Pikirnya, mungkin Jungmo sedang menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena ini hari libur, Woobin tidak langsung pergi ke kamar mandi seperti biasanya. Ia hanya memainkan ponselnya di kasur sambil menunggu Jungmo memanggilnya untuk sarapan. Namun, sampai setengah jam kemudian, tidak ada panggilan yang didapat. Lelaki Seo itu baru menyadari bahwa sedari tadi tidak ada bunyi apapun dari arah dapur. Karena penasaran, ia kemudian pergi keluar kamar.

“Jungmo?”

Hening. Tidak ada jawaban yang terdengar. Ketika ia masuk dapur, ia tidak menemukan siapapun disana.

“Jungmo? Kamu dimana, sih?” Woobin kemudian menelusuri tiap ruangan di rumah sewa itu. Namun, ia tidak menemukan lelaki manis itu dimanapun. Ia mulai khawatir, kemudian segera mengambil ponselnya dan menghubungi si manis.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif…

“Ya ampun, kemana sih anak itu!” ujarnya sedikit gusar. Woobin berkali-kali mencoba mengirim pesan dan menelfon Jungmo namun ia tak kunjung membalas atau menjawab panggilannya. Sudah lima belas menit berlalu dan si manis belum juga pulang. Ia mulai merasa khawatir dan takut sekarang.

“Woobin, aku pulang—eh, sudah bangun?”

Woobin seketika merasa lega ketika suara itu muncul dari arah pintu masuk.

“Jungmo, kamu kemana aja, kok gak bilang-bilang? Ponselmu kenapa gak aktif? Aku menelfon kamu berkali-kali, tahu!”

“Ah, iya kah? Maafkan aku, sepertinya ponselku tadi mati…” ucap Jungmo pelan, merasa bersalah. Ekspresi wajah lelaki yang lebih muda itu kini terlihat menyeramkan sehingga ia merasa ciut.

Woobin menghela nafas. “Hah… yasudah, setidaknya kamu tidak kenapa-kenapa. Memang, kamu tadi pergi kemana, sih?”

“Aku… tadi pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Lalu, tiba-tiba aku tersesat. Maafkan aku.”

“Kok bisa, kamu tersesat?”

“Um… Entahlah.” Jungmo hanya menjawab singkat dengan senyuman tipis.

“Yasudah, tidak perlu dipikirkan. Kamu mau sarapan apa?” tanyanya sembari berjalan ke arah dapur untuk meletakkan barang belanjaannya.

“Kamu istirahat saja. Biar aku yang siapkan sarapan hari ini,” ujar Woobin. Jungmo menatap Woobin, berniat menolak. Namun, sebelum sempat ia utarakan, si yang lebih muda langsung mengusirnya dari dapur. Bahkan, tanpa ia sempat membereskan barang belanjaannya.

“Woobin, mau ku bantu?” Jungmo bertanya dengan hati-hati pada Woobin yang sedang memasak. Beberapa kali ia melirik ke arah dapur, menyiapkan diri apabila pemuda Seo itu membutuhkan bantuan. Namun, nampaknya Woobin dapat menyiapkan semuanya dengan baik.

“Jungmo, ayo sarapan!” panggil Woobin. Ketika sampai di dapur, Jungmo dibuat terkesima oleh masakan yang disiapkan oleh Woobin.

“Woah, Bin. Kamu menyiapkan segini banyak hanya untuk sarapan?” tanyanya. “Kalau ini sih, aku tidak perlu makan siang lagi.”

“Hahaha. Memang itu tujuanku. Makanlah yang banyak, Jungmo. Setelah ini, kita pergi jalan-jalan, yuk?”

“Hm? Jalan-jalan kemana?” Jungmo menatap Woobin penasaran.

“Sudah, lihat saja nanti.”


ROLLERCOASTER!” Jungmo berteriak histeris melihat berbagai macam wahana ketika mereka baru saja sampai di tempat tujuan, Everland. Riuh rendah suara teriakan pengunjung bercampur dengan suara mesin-mesin wahana di tempat itu menyambut mereka.

“Woobin, aku mau naik rollercoaster!”

“Jungmo, jangan lari-lari! Rollercoaster-nya gak akan kemana-mana!”

“Cepat, Woobin! Cepat!”

Woobin hanya pasrah, kemudian bergegas mengejar Jungmo yang mulai berlari kecil, terlalu bersemangat.

Mereka berdua menikmati hari itu dengan banyak canda tawa. Jungmo yang sangat menikmati permainan-permainan di taman hiburan dan Woobin yang tidak berhenti mengikuti si manis yang berlarian kesana kemari, hingga tak jarang ia terpaksa menggandeng lengan lelaki itu.

“Jungmo, astaga, pelan-pelan. Jangan berlari, istirahat dulu sebentar,” keluh Woobin. Jungmo menoleh ke belakang, tersenyum kecil kemudian ikut duduk di sebelah lelaki yang kini tengah terengah sembari meminum air.

“Payah, ah! Masa, begitu saja sudah capek!” ujarnya. Ia terkekeh kecil, seolah menertawakan lelaki itu. Woobin mendecih.

“Kamu tuh, sudah dewasa, masih suka lari sana lari sini. Kayak anak kecil saja!” balasnya mencibir. Keduanya lalu tergelak. Jungmo melihat jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Sudah waktunya makan malam.”

“Ayo, kita cari tempat makan.” Woobin berdiri. Ia menunjuk ke arah sebuah restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari tempat mereka sekarang. “Makan burger saja. Bagaimana?”

“Boleh.”

Keduanya kini tengah menikmati satu buah burger udang serta satu kaleng cola dingin. Tidak ada percakapan satupun yang keluar dari mulut mereka. Hanya hiruk pikuk suara orang lalu lalang serta teriakan samar yang menemani makan malam mereka malam itu.

“Uhm… Woobin?” Si lelaki yang lebih tua mencoba memecahkan keheningan diantara keduanya.

“Hm?” Yang terpanggil menjawab singkat, namun tetap fokus mengunyah makanannya.

“Kamu…” Jungmo berhenti, membuat Woobin, yang sudah memberikan atensinya untuk mendengarkan, menoleh. “Ya? Aku kenapa?”

“Kamu… kenapa aneh?”

Woobin menautkan alisnya, bingung. “Aneh… bagaimana?”

“Kamu. Aku. Seperti ini.”

Jungmo tidak menjelaskan secara rinci maksud dari perkataanya, namun anggukan kecil dari Woobin menjadi pertanda bahwa ia mengerti maksud dari tiga kalimat yang diutarakan lawan bicaranya itu.

“Woobin… kamu… tidak lupa kan, kalau kita sudah… um…” Jungmo bertanya ragu, sekali lagi menggantungkan kalimatnya.

“Sudah putus, maksudmu?” Woobin bertanya langsung, membuat si manis sedikit terperanjat. Ia membalasnya dengan senyuman canggung.

“Iya, aku ingat. Kenapa? Aku hanya ingin membalas kebaikanmu, kok, beberapa hari terakhir.”

“Maksudmu?” tanya Jungmo bingung.

“Ya… beberapa hari terakhir, kamu masih bersikap baik kepadaku dan memberiku perhatian, bahkan ketika kita sudah putus? Kamu masih tetap membuat masakan kesukaanku, menyiapkan pakaian kerjaku, melakukan semua yang selalu kita lakukan saat masih pacaran dulu,” jelas Woobin. “Aku hanya ingin membalas kebaikanmu dan semua perhatian yang kamu kasih ke aku selama ini. Aku tahu, sulit untuk membuat keadaan di rumah seperti biasa setelah kita putus. Tapi, aku menghargai kerja kerasmu, Jungmo.”

Jungmo terdiam mendengar penjelasan Woobin yang sedikit tidak terduga. “Um… jadi, selama ini yang aku lakuin itu menurutmu karena aku yang tidak ingin membuat suasana di rumah jadi canggung?”

Hm… kind of..?” Jungmo tersenyum tipis kemudian mengangguk paham. “Begitu ya…”

“Woobin, boleh bertanya sesuatu?”

“Ya?”

“Kenapa kamu putusin aku ya, waktu itu?”

Because… I have fallen out of love?”

Jungmo sekali lagi mengangguk kecil. “Melihat alasanmu, tidak heran kalau kamu berfikir begitu,” bisiknya pelan.

“Ya?”

“Ah, tidak. Sudah selesai, kan? Ayo pulang. Sepertinya sudah mulai malam. Kita harus kembali kerja besok.”

“Kamu tidak mau mencoba permainan yang lain lagi?”

Jungmo menggeleng. “Tidak perlu. Sudah cukup, Woobin. Terima kasih.”

Malam itu, sikap Jungmo mendadak berubah. Sampai di rumah, ia langsung masuk kamar dan membersihkan dirinya. Di perjalanan pulangpun, Jungmo hanya menjawab singkat setiap perkataan yang dilontarkan Woobin. Hingga waktunya tidur, lelaki manis itu tidak lagi berbicara dengannya.

Ya Tuhan… dia kenapa lagi…


Woobin berjalan menuju tempat tinggalnya dengan lesu. Satu minggu terakhir merupakan hari-hari yang cukup tidak menyenangkan bagi Woobin. Jungmo tidak lagi memerhatikannya seperti yang dia lakukan pada hari-hari sebelumnya. Dirinya lebih fokus pada Sikap lelaki itu benar-benar berubah total, seolah ia tidak mengenal teman sekamarnya itu. Woobin frustrasi. Namun, kali ini perasaan frustrasi itu bercampur dengan rasa kehilangan. Ia seolah telah kehilangan sosok yang membuat harinya lebih berwarna. Ia kehilangan sosok ‘kekasih’nya.

Kini dirinya merasa lelah. Pekerjaan yang berat seolah membuat beban di pundaknya bertambah. Ia sangat berharap, akan ada sosok lelaki itu di depannya, ketika ia membuka pintu nanti. Menyambutnya dengan hangat seperti biasanya. Dengan senyuman manis yang terulas di wajahnya yang lelah. Namun, apa yang ia dapatkan justru berbanding terbalik dengan apa yang ia harapkan.

Begitu ia membuka pintu, ia disambut kehampaan. Sepi. Tidak ada suara apapun selain suara dirinya sendiri yang memanggil-manggil nama lelaki itu berulang kali.

“Jungmo? Kamu dimana?” Dengan setengah frustrasi ia terus memanggil namanya. Tetapi, tidak ada jawaban apapun. Woobin tidak melihat tanda-tanda lelaki itu di tempat tinggalnya. Perasaannya mulai tidak enak. Cepat-cepat ia menuju kamarnya dan benar saja, ruangan itu nyaris kosong. Hanya terdapat separuh dari barang-barang yang tertata rapi di tempatnya dan semua barang yang tersisa itu milik Woobin. Yang berarti, Jungmo telah meninggalkan dirinya dan membawa seluruh barangnya, pergi tanpa jejak.

Rasa sesal kini datang menyerangnya. Air mata yang terbendung pada netra itu seketika turun. Tidak dapat lagi ia tahan kesedihannya, merasa telah kehilangan seseorang yang sangat berharga baginya. Woobin terduduk di pinggir kasur. Menumpahkan segala kesedihan dan emosi yang kini ia rasakan. Kedua netranya tiba-tiba menangkap sebuah kertas yang terdapat di atas nakas di samping tempat tidur yang kini nyaris kosong. Rangkaian demi rangkaian kata tertulis di atas kertas putih bergaris itu.

Dear Woobin…

Halo, ini Jungmo, your ex-boyfriend. Maaf ya, aku harus pergi duluan dan tidak memberi tahumu dulu.

Woobin, maaf ya, kalau selama kita pacaran, aku kurang memperhatikanmu. Aku minta maaf, kalau aku belum bisa menjadi pacar yang baik. Aku bisa mengerti kok, mengapa kamu tidak mencintaiku lagi. Bahkan, usahaku untuk merubah perasaanmu dan untuk membuatmu kembali jatuh cinta padaku lagi, gagal. Sekarang aku paham, bahwa memang mungkin kita tidak ditakdirkan bersama.

Ohiya, aku tidak mengemasi semua barang yang ada di apartemen itu. Ada beberapa barang yang kita beli berdua, jadi aku tidak yakin untuk mengambilnya. Kamu bisa memutuskannya sendiri.

Woobin, kamu orang baik. Semoga, kamu bisa mendapat yang lebih baik dariku, ya. Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu! Terima kasih, ya, karena sudah bertahan denganku selama ini. Aku sangat menghargai semua waktu yang kuhabiskan bersamamu selama ini. Semoga kamu selalu bahagia, Seo Woobin.

Tertanda,
Koo Jungmo

Woobin menangis semakin kencang. Dalam tangisnya ia mengucapkan kata maaf dan menyebut nama lelaki itu, memintanya untuk kembali. Tetapi, tidak ada gunanya. Semua sudah terjadi. Penyesalan memang selalu datang terlambat dan tidak ada cara untuk memutar kembali waktu.

THE END

EPILOG

“Woobin! Hey, sayang!”

Lelaki Seo itu tersentak bangun ketika merasakan seseorang menepuk pelan pipinya. Dengan nafas masih terengah, ia menatap langit-langit kamarnya.

“Sayang, kamu nangis?” Ia menoleh ke arah sumber suara. Di sampingnya, terdapat Jungmo yang menatapnya khawatir.

“Jungmo?” Woobin memanggil, menatapnya linglung, setengah tidak percaya. “Iya, Bin? Kamu kenapa? Kamu mimpi buruk, ya?”

“Kamu masih disini?” Sekali lagi ia bertanya, memastikan eksistensi lelaki manis di hadapannya.

“Jungmo, kamu kenapa masih disini? Bukankah kamu mau pergi?”

“Astaga! Mau pergi kemanaa? Kamu mengusir aku?” ujar si manis jengkel sembari mencubit pelan lengan Woobin. “Sudahlah, aku keluar dulu. Kalau nyawamu sudah terkumpul sepenuhnya, cepat keluar dan bantu aku!”

Jungmo baru saja hendak beranjak ketika kekasihnya menarik lengannya cepat dan membawanya ke dalam dekapan erat.

“Woobin…?”

“Sst… sebentar. Biarkan aku peluk kamu sebentarrr saja, Jungmo.” Woobin semakin mengeratkan pelukan itu, seolah tidak ingin melepaskan lelaki dalam pelukannya.

“I miss you. Jangan tinggalin aku lagi, Mogu.”

Jungmo mengerutkan alisnya, bingung. “Um… bukannya kita bertemu setiap hari…? Lalu, kapan aku meninggalkan kamu?”

“Aku mimpi. Kamu ninggalin aku. Gausah tanya kenapa. Aku gamau ingat mimpi itu lagi. Such a nightmare, Mogu.”

“Ow, poor my bear for having such a dream.”

Woobin melepaskan pelukannya, kemudian menangkup kedua pipi kekasihnya yang menggembul. Ditatapnya wajah itu lamat-lamat.

“Ya Tuhan, aku bodoh banget kalau sampe kehilangan manusia lucu dan manis di depanku ini,” ujar Woobin membuat yang ditatap sedikit merona.

“H-Hey! Sudah, sudah! Jangan bicara yang aneh-aneh! Ini masih pagi ya, sialan!” Jungmo mencoba melepaskan tangan sang kekasih dari wajahnya, namun gagal. Yang terjadi selanjutnya justru diluar kendalinya.

Lelaki Seo itu mengecup dahi Jungmo, kemudian ke pipi kanan, lalu pipi kiri, dan hidung. Yang terakhir, ia melumat bibir plump milik Jungmo dengan lembut, memberikan sebanyak-banyaknya afeksi pada lelaki kesayangannya.

THE (REAL) END

Tinggalkan komentar